9info.co.id – Pagi tadi, ketika masih gerimis, kami tetap pada rencana semula. Berdua dengan istri, Imelda Nada Marchia menuju kapal di dermaga Muliaraja Balige, Toba. Berencana naik fery ke Onan Runggu.
Tempat yang kami tuju Rajawali Resort, Ronggur ni huta, Samosir. Sebelumnya, sudah terlebih dahulu janjian dengan Bro Dani Rahadian M. Adik kelas saya di SMAN1 Bandung.
Hampir jam 10. Waktu biasa keberangkatan fery dari Balige menuju Onan Runggu. Tapi mengapa sepi?
Petugas pelabuhan dengan pakaian dinas lengkap berkata: Kapal Fery sudah tidak lagi beroperasi hingga akhir February.
“Loh kenapa?”
“Ya, begitulah Pak. Katanya untuk persiapan F1H20. Kita hanya melaksanakan perintah aja”.
Hati dan pikiran saya terus bertanya tanya. Bagaimana dengan masyarakat yang sehari hari menggunakan fasilitas kapal fery ini?
Bagaimana dengan para pedagang yang sejak puluhan tahun lalu tumpah ruah di Balige untuk ‘maronan’ (pasar tradisional setiap pekan)?
“Sudah pasti gak ada kapal fery?”
“Sudah Pak, jawab petugas”.
Kamipun akhirnya merobah haluan. Kami gowes ke Parapat aja. Dari sana nanti nyeberang ke Samosir.
Jam 11 kami baru sampai Laguboti. Mampir sejenak di tempat Mr Jeep Owner, Hubers Homestay. Isi air minum dan nompang di toilet yang bersih.
Jam 12 baru sampai di Porsea. Makan mie gomak, telor ayam kampung setengah matang dan minum kopi robusta yang super enak. Langganan kami.
Beberapa kali kami harus berhenti di jalan. Selain karena capek, juga karena beberapa kendaraan yang kurang ramah dengan pesepeda.
Sering sekali kami harus keluar dari beram jalan, karena mobil dari depan memaksa mengambil jalan yang kami lalui.
Sepanjang jalan, kami menyaksikan begitu banyak poster F1H20. Lengkap dengan foto bupati dan wakil bupati. Pakai dinas. Lengkap. Entah apa hubungannya dengan balap balapan boat berkecepatan tinggi itu.
Ada yang dipasang dengan baik. Ada juga yang asal pasang.
Pikiran dan hati saya terus berkecamuk. 25.000, bahkan ratusan ribu orang katanya akan tumpah ruah di Balige menyaksikan event Internasional yang baru pertama kali dilaksanakan di TOBA ini.
Harus sukses kata para petinggi. Pak Kapoldapun sejak beberapa hari lalu katanya ikut berkantor di Balige, agar semua hal dipastikan berjalan dengan baik.
Ya, semua tamu harus merasa happy, karena akan sangat menentukan bagi pelaksanaan event F1H20 pada 5 tahun berturut-turut. Sudah kontrak dengan In Journey, kata Kemenpar.
Semua lapisan masyarakat diajak ikut mensukseskan event ini. Presiden Jokowi, entah sudah keberapa kali, katanya juga akan hadir di Balige.
Para petugas negara, ASN dan ratusan orang turun ke jalan membersihkan kota Balige yang selama ini terlihat sangat jorok.
Parit-parit dibongkar dan dikerjakan dengan super cepat. Jalan jalan dilapis aspal. Sebagian diperlebar. Pokoknya serba simsalabim.
Semua demi F1H20. Rumah-rumah masyarakat diseberang tanah lapang Sisingamangaraja, arah ke Danau Toba, semua dibongkar.
Ada yang diminta bongkar sendiri, ada juga yang dipaksa bongkar. Eksekusi bahasa kerennya. Tentunya dengan pengawalan penuh aparat. Tidak ada yang boleh protes. Alasannya menyalahi ‘sempadan jalan’
Tanah-tanah yang sudah sertifikatpun, menurut Pemda Tobasa tidak harus dibayar, karena masuk dalam sempadan.
Padahal putusan PN Tarutung, tahun 1954, setelah berperkara dua tahun 4 bulan, antara pihak turunan Muliaraja yang menggugat Pemda Tapanuli utara. Tanah di seberang lapangan itu adalah tanah keturunan Muliaraja.
Bupati Toba, Poltak Sitorus, berkali kali diminta para korban terdampak F1H20, membaca putusan PN itu.
Selalu begitu sulit membaca butir ke-3 putusan PN itu yang berbunyi, bahwa tanah di pantai itu adalah tanah ‘pangeahan’ (tanah akibat air danau yang menyusut), yang menjadi warisan bagi turunan Muliaraja Napitupulu.
Juga pada butir ke-4 putusan PN yang mengatakan, bahwa lapangan Sisingamangaraja itu harus tetap pada fungsi semula menjadi tanah lapang. (Bupati membaca jadi lapangan bola, yang dikoreksi turunan Muliaraja, sesuai yang tertulis. Tanah lapang, dan bukan cor lapang seperti sekarang).
Pihak turunan Muliaraja kembali membacakan kepada Bupati Toba, perihal putusan Pengadilan tahun 1954. Bahwa, kalau ada perubahan fungsi lapangan itu, harus terlebih dahulu dibicarakan dengan turunan Muliaraja.
Dan pembicaraan ini, menurut turunan Muliaraja tidak pernah dilakukan oleh Bupati Toba dan jajarannya.
Hingga hari ini, setahu saya, uang ganti rugi (menurut pemerintah sering disebut ganti untung) belum jadi diberikan pada warga yang terdampak.
Pada RDP di Kantor Bupati beberapa hari lalu, usai demo dengan turunan Muliaraja Napitupulu, saya ikut bertanya mengapa bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang diwariskan oleh kakek kami Kilian Hutabarat juga harus dibongkar?
Saya usul agar bangunan itu dipertahankan sebagai bangunan bersejarah. Kami sedang berembuk untuk menyerahkan tanah dan bangunan bersejarah itu kepada Negara Republik Indonesia.
Proses penyerahannya pun sudah sedang dinegosiasi lewat Tulang Raden Pardede, yang cukup dekat dengan Pak Menpar Sandiaga Uno.
Akan tetapi Sabtu sore 13 Jan lalu, tiba tiba kami menerima surat pemberitahuan kedua dan ketiga, yang kemudian dilanjutkan dengan pembongkaran bangunan bersejarah itu.
Surat pertama kami terima tgl 10 Jan2023, yang hari itu juga kami balas akan segera merenovasi bangunan bersejarah itu menjadi coffee shop untuk mendukung Danau Toba sebagai destiansi super prioritas dan F1H20 yang tentu sangat membutuhkan aneka sarana umum.
Seorang teman mengirim beberapa foto dan video yang menyayat hati. Proses pembongkaran tembok bangunan setebal 40 cm tanpa tulangan itu.
Dengan lantang MC membacakan, karena tidak sesuai dengan aturan Pemerintah Daerah. Dan beberapa butir yang dibaca dengan suara lantang oleh MC sebelum bangunam itu diremukkan.
Sebelumnya lewat telepon, Sekda Toba Agus Sitorus mengatakan alasan membongkar bangunan itu karena mengganggu pemandangan. Mengganggu jalan masuk VIP.
Padahal dalam gambar arsitek, bangunan itu hanya dibuat sebagai taman. Pagar lokasi dipisahkan dari bangunan bersejarah itu.
Sebelumnya ketika saya sampaikan niat merenovasi bangunan itu menjadi Coffee Shop, serta mengirim cerita sejarah bangunan itu dan gambar rencana coffe shop, Lae Andhy Marpaung dari Kemenpar mengatakan apakah masih terkejar bisa selesai sebelum tanggal 31 Jan?
Kepada Pak Wakil Bupati Tony Simanjuntak, Sekda, Plt Kadis PU kami keluarga pewaris bangunan bersejarah itu juga sudah menyampaikan niat kami utk merenovasi bangunan berharga itu.
Saya jawab lewat WA kepada Pak Andhy Marpaung. Bisa. Minimal tampilan luar kita buat bagus seperti bangunan Kolonial.
Apa mau dikata, hanya dalam hitungan jam, bangunan bersejarah itupun, rata dengan tanah.
Tangki bbm di dalampun, sempat hendak ditimbun begitu saja dengan tanah. Sampai sekarang kami tidak lagi menerima informasi apapun bagaimana nasib warisan kakek kami tersebut.
Kita seolah dipaksa diam. Tidak ada yang boleh melawan jika sudah bicara ‘demi kepentingan Negara’.
Yang protes kalau perlu dituduh sebagai provokator. Ikut memanasmanasi, dan sejumlah sebutan lain.
Sepanjang naik sepeda tadi, hati saya masih terus bertanya-tanya. Pariwisata yang bagaimanakah yang kita mau hadirkan di Toba?
Siapa saja yang nanti ikut balap membalap? Siapa saja yang akan menikmatinya? Siapa saja yang akan berjualan dan mengambil keuntungan bisnis dalam perhelatan besar itu?
Semua kendaraan tidak diperkenankan beroperasi di Kota Balige selama event, kata Bapak Bapak keamanan saat rapat di kantor Dinas Pariwisata Toba Jumat dua minggu lalu. Hanya yang bertanda stiker yang boleh beroperasi.
Masih sebulan lagi pelaksanaan F1H20, tapi banyak teman yang bolak balik telepon sudah tidak kebagian kamar menonton event ini.
Saya masih belum bisa bayangkan bagaimana nanti tumpah ruahnya masyarakat di Balige. Betul, pasti akan banyak sekali yang ketiban rejeki. Akan banyak bisnis baru di Balige.
Pak Bupati Toba di HP-nya menunjukkan dua gambar yang sangat kontras. Kota di Arab, sebelum dan setelah F1H20.
Hanya dalam beberapa tahun area yang dulu hanya gurun pasir berobah jadi gedung gedung pencakar langit, pasca F1H20 kata Pak Bupati.
Dalam hati saya berpikir, karena F1H20? Atau karena Arab memang berlimpah uang karena minyak bumi mereka?
Terus Pak Bupati Poltak berharap Kota Balige juga akan dipenuhi oleh bangunan pencakar langit? Sehingga bangunan apapun yang terlihat tidak enak, tidak bagus, tidak ikut spesifikasi Pemda harus dibongkar? Sekalipun itu bangunan bersejarah warisan Belanda ke dan dari kakek kami?
Apakah Kakek kami dulu salah pada zaman Belanda tidak mengurus IMB ke Pemkab Toba?
Sambil membayangkan bangunan Belanda itu diremukkan dengan beko, saya juga membayangkan banyak bangunan Pemda yang amburadul tidak terpakai.
Juga roboh tanpa alat berat seperti trotoar beton sepanjang pantai Sunset Beach Tambunan yang dibiarkan sampai Minggu lalu saya mandi di sana.
Harus begitukah spesifikasi bangunan Pemda? Banyak yang amburadul, hancur dan tidak terpakai?
Apakah bangunan Pemda di atas pasir itu punya IMB? Tidak menyalahi sempadan danau? Atau hanya bangunan masyarakat yang perlu dibongkar? (Itupun sptnya hanya berlaku bagi kita warga kecil. Untuk milik Jenderal, atau pemodal besar, aturan sempadan itu sepertinya belum diberlakukan).
Malam, di tengan hutan Taman Eden Lumban Julu, saya dapat sajian kopi luar biasa enak.
Kopi robusta yang langsung diroasting oleh artis dan pemilik coffeshop nan sangat keren ini, Made Sirait, adeknya Lae Marandus Sirait.
Sebelum kembali ke homestay kami berdiskusi lumayan banyak dengan seniman dan pembaca buku-buku hebat ini.
Saya minta sarannya satu buku koleksinya yang perlu saya baca, kalau-kalau masih belum tidur.
Guns, Germs n Steel, karangan Jared Diamond, ini buku luar biasa Bang. Mengapa kita yang tinggal di area katulistiwa bernasib sama, dijajah oleh Bangsa Eropah.
Saat membuat tulisan ini, saya belum baca selembarpun buku setebal 638 halaman itu.
Tapi dalam hati saya berpikir, siapa sesungguhnya yang menjadi penjajah di Negeri kita ini?Sudahkah kita benar-benar Merdeka? Atau ucapan merdeka itu masih hanya slogan segelintir orang yang merasa paling memiliki Negara ini?
Ah, jangan-jangan besok pagi, setelah tulisan ini diupload, saya dituduh subversif. Dijadikan tersangka. Dipaksa bersidang berbulan-bulan yang meletihkan lalu dihadiahi beasiswa lagi di lapas seperti beberapa tahun lalu.
Para ahli hukum di negeri ini, toh bisa mencocokkan pasal demi pasal bagi siapapun yang dirasa mengancam kekuasaan para raja-raja kecil, raja raja sedang dan besar.
Semua bisa dihadiahi penjara. Seperti juga Pak Dirman Rajagukguk yang dapat hadiah vonis penjara karena mengerjakan lahan leluhur mereka, tapi oleh PN Balige, katanya merusak tanah yang menjadi konsesi.
Tao Toba untuk siapa? Semoga kita tidak terlambat menyadari bahwa kitalah, pemilik sesungguhnya lokasi ini. Diutus sebagai duta sorga, untuk mengelola alam ciptaan ini sesuai dengan kehendakNYA, dan bukan kehendaknya, kehendakku, kehendakmu. (Int)