Connect with us

9info.co.id – Operator Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang ditunjuk oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam, dikabarkan mengurangi 130 karyawannya per 31 Januari 2023.

Pengurangan karyawan dengan jumlah yang cukup signifikan itu, dilakukan di tengah kondisi semakin memburuknya kualitas pelayanan air bersih di kota industri ini.

“Merata di semua departemen, baik di PT Air Batam Hilir maupun PT Air Batam Hulu,” ujar seorang karyawan yang terdampak, saat ditemui dibilangan Batam Center, Selasa (31/01/2023).

Karyawan ini tidak bersedia disebutkan namanya. Dia bersama lebih dari 80 persen karyawan yang terkena dampak tidak terima dengan keputusan tersebut. Salah satu alasannya adalah, karena prosesnya yang tidak sesuai dengan UU Cipta Kerja.

Seperti diketahui, 130 karyawan tersebut adalah karyawan PT Adhya Tirta Batam (pengelola air bersih di Batam pada periode 1995-2020), yang pindah ke perusahaan baru yang ditunjuk BP Batam pada masa transisi. Perusahaan baru yang dimaksud adalah PT Moya Indonesia.

Untuk tahap pertama, mereka dikontrak selama 6 bulan. Terhitung sejak 15 November 2020 sampai 14 Mei 2021. Kontrak ini dilakukan sembari BP Batam melakukan lelang untuk memilih mitra definitif.

Namun seiring berjalannya waktu, proses lelang pemilihan mitra operasi dan pemeliharaan SPAM Batam tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Karena itu, mereka harus menandatangani kontrak berulang-ulang. Yang kedua 15 Mei sampai 31 Oktober 2021, yang ketiga 1 November 2021 sampai 30 April 2022.

Kontrak kerja yang keempat 1 Mei 2022 sampai 31 Juli 2022, kemudian yang kelima 1 Agustus 2022 sampai 31 Desember 2022.

“Total ada 5 kali kontrak hingga 31 Desember 2022,” paparnya.

Setelah tanggal 31 Desember 2022, karyawan tidak mendapat perpanjangan kontrak. Namun demikian, perusahaan mengeluarkan memo yang meminta mereka untuk tetap bekerja seperti biasanya. Memo yang sama menyebutkan, perusahaan tengah meninjau kontrak mereka.

“Dari manajemen memberlakukan ini secara otomatis hanya berdasarkan beredarnya surat elektrik yaitu memo. Memo dari WhatsApp dan email,” terangnya.

Menurut dia, memo tersebut tidak bisa dijadikan dasar sebagai sebuah kontrak kerja, karena diberlakukan sepihak oleh perusahaan.

Karyawan sendiri tidak pernah merasa menandatangani perjanjian tertentu dengan perusahaan, setelah kontrak berakhir per 31 Desember 2022.

Para karyawan tersebut menilai, jika mengacu pada UU Cipta Kerja, setiap kontrak kerja harus dibuktikan dengan penandatanganan kedua belah pihak. Pihak pertama adalah perusahaan, dan pihak kedua adalah karyawan.

“Di sini tidak ada hitam di atas putih. Setelah kontrak kerja habis 31 Desember 2022, langsung lanjut 1 Januari sampai 31 Januari 2023,” paparnya.

Masih mengacu pada aturan yang sama, para karyawan terdampak menganggap ketika mereka diminta bekerja melampaui masa kontrak kerjanya, maka secara otomatis statusnya berubah dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ke Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

“Jadi harusnya kami ini sudah menjadi karyawan permanen,” ucapnya.

Namun, bukannya diberikan status karyawan permanen, mereka malah diminta berhenti bekerja. Perusahaan memanggil karyawan secara bergilir, khususnya pada 30 Januari 2023 dan 31 Januari 2023.

Perusahaan menjelaskan, bahwa kontrak mereka tidak diperpanjang. Alasannya adalah untuk efisiensi budget.

Padahal sebelumnya, Kepala BP Batam telah mengumumkan bahwa PT Moya Indonesia bersedia berinvestasi besar di Batam untuk meningkatkan kualitas pelayanan SPAM.

“Menurut aturan, kami harusnya diberitahu secara resmi 7 hari sebelumnya. Tapi, dalam kejadian ini, kami diberitahu saat akan diberhentikan,” ungkapnya.

 

Minta Dipekerjakan Kembali

Karyawan PT Air Batam Hulu dan PT Air Batam Hilir yang mendapat dampak dari kebijakan efisiensi itu, menuntut perusahaan mempekerjakan mereka kembali. Menurut mereka, perusahaan telah melanggar prosedur dalam proses efisiensi karyawan tersebut.

Selain itu, jika mengacu pada UU Cipta Kerja, status karyawan yang (menurut perusahaan) kontraknya tidak diperpanjang tersebut adalah karyawan tetap.

“Jadi, kami ini bukan tidak diperpanjang kontrak, tapi di-PHK sepihak,” tegasnya.

Mereka berencana akan menyurati perusahaan untuk menyampaikan tuntutannya. Sudah ada lebih dari 80 persen karyawan yang kontraknya tidak diperpanjang, yang menandatangani surat tersebut.

Surat yang dimaksud juga akan ditembuskan kepada Kepala BP Batam, DPRD Kota Batam dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Batam.

Kepala Disnaker Batam Rudi Sakyakirti mengaku, pihaknya belum menerima surat resmi dari korban PHK sepihak tersebut.

“Kita belum dengar dan terima surat terkait aduan karyawan dari PT Moya karena PHK sepihak,” ucapnya saat dihubungi melalui sambungan seluler, Rabu (01/02/2023).

Rudi juga belum dapat menanggapi hal ini terlalu jauh. Pihaknya perlu melakukan pendalaman terlebih dahulu, termasuk melihat kontrak kerja karyawan secara teknis.

“Saya masih belum lihat seperti apa, karena mereka [karyawan] belum lapor ke kita. Jadi saya tunggu dulu laporan penyelesaiannya seperti apa. Saya belum bisa berkomentar banyak tentang ini,” terangnya.

 

Bantah PHK Sepihak

Sementara, melalui Corporate Communication (Corcom) PT Air Batam Hilir, Ginda Alamsyah Lubis membantah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan PT Air Batam Hilir (Perseroan) dan PT Air Batam Hulu.

“Perseroan tidak melakukan PHK terhadap karyawan yang bersangkutan, melainkan melakukan pengakhiran perjanjian kerja antara Perseroan dengan karyawan yang telah habis masa kerjanya,” tulis Ginda dalam keterangan resminya, Rabu (01/02/2023).

Ia menyebutkan, bersamaan dengan pengakhiran perjanjian kerja itu, Perseroan telah mempersiapkan langkah dan solusi berupa, melakukan pemetaan seluruh karyawan Perseroan dengan mempertimbangkan beberapa aspek penilaian untuk membuat keputusan.

“Bagi karyawan yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan, maka perjanjian kerja antara Perseroan dengan karyawan tersebut tidak dilanjutkan,” jelasnya.

Selain itu, penyelesaian kontrak terhadap karyawan yang tidak diperpanjang kontraknya, Perseroan akan mengakhiri masa kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dengan memberikan kompensasi sesuai perhitungan masa kontrak yang terbayarkan.

“Atau, menawarkan kesempatan bekerja pada afiliasi Perseroan, sepanjang karyawan tersebut memenuhi seluruh persyaratan dan ketentuan yang dibutuhkan, serta bersedia bekerja ditempatkan di luar Kota Batam, dengan maksud dan tujuan karyawan tersebut tidak kehilangan pekerjaan,” tutup Ginda.

Namun dalam hal ini, diketahui dari karyawan yang kontraknya tidak diperpanjang, bahwa kuota yang tersedia untuk pindah ke perusahaan afiliasi adalah 17 posisi.

Pada mekanismenya, mereka tetap harus setuju terlebih dahulu untuk tidak diperpanjang kontraknya di Batam, baru direkomendasikan ke perusahaan afiliasi di Pekanbaru dan Jakarta. ( Hum )

Continue Reading
Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Batam

Sidang Kasus KDRT, 6 Saksi yang dihadirkan JPU Sebut Tidak ada Peristiwa Kekerasan Fisik terhadap Korban.

Sidang Kasus KDRT, 6 Saksi yang dihadirkan JPU Sebut Tidak ada Peristiwa Kekerasan Fisik terhadap Korban.

9Info.co.id| BATAM –  Sidang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang melibatkan terdakwa Daniel Marshall Purba mengungkap fakta mengejutkan di Pengadilan Negeri Batam.

Dalam persidangan yang berlangsung pada Selasa kemarin (2/10/2024). Enam orang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Batam menyatakan bahwa mereka tidak melihat adanya peristiwa kekerasan dalam kasus perebutan anak yang menghebohkan Kota Batam dua tahun lalu di Hotel Harris Batam Center.

Sidang perkara nomor 466/Pid. Sus/2024/PN.Btm. ini dipimpin oleh ketua Majelis Hakim Tiwik, dan dua hakim anggota Yuanne Rambe, dan Vabiannes Stuart Watimena di Ruang Sidang Utama PN Batam mengundang empat saksi yang mengetahui kronologi peristiwa perebutan anak tersebut.

Saksi bernama Zara Zettira mengungkapkan, “Saya tidak pernah melihat adanya dorongan, pemukulan, atau korban jatuh, seperti yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.” tegas Zara Zetrtira dalam persidangan.

“Saat Korban datang ke hotel Harris bersama adiknya, saya sedang di lobby Hotel Harris yang Mulia”, jelasnya.

“Pada saat itu korban menyampaikan kepada saya, sini anak gua “Anjing”. Namun saya menjawab tunggu bapaknya datang, tunggu bapaknya datang dan kami pun di amankan pihak security hotel untuk diarahkan ke suatu ruangan dekat lobby Hotel Harris (Smiley Room) sembari saya menggendong anak korban” sebutnya.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh saksi lainnya dari UPT PPA Perlindungan Perempuan dan Anak yang menambah kesan bahwa tidak ada tindakan kekerasan yang terjadi yang dilakukan oleh terdakwa kepada korban.

“Korban hanya menjelaskan bahwa si korban mengalami luka memar di sebelah punggung kiri saat berkomunikasi VC dengan sikorban”, tetapi tidak melihat dengan jelas dalam Video tesebut Luka memar yang dialami oleh Korban, jelasnya.

“Pada saat itu, kehadiran kami atas instruksi dari PPA Polda Kepri Iptu Yanhthi Harefa SH. untuk mendampingi korban, dan berupaya memediasi antara korban dan terdakwa yang mulia. dalam mediasi tersebut disepakati dan tertulis ada 10 poin yang menjadi komitment korban dan terdakwa. Namun karena ada satu point’ yang tidak disepakati, si korban pun enggan untuk menandatangani kesepakatan yang mereka fasilitasi. Namun Terdakwa dan Korban sepakat tidur bersama Anaknya 1 kamar di Hotel Harris Batam Centre pada Senin Malam tanggal 12 September 2022., namun esoknya saksi kembali mendampingi mediasi yang dilaksanakan di Polsek Batam kota”, namun tidak menghasilkan kesepakatan sebut saksi Tetmawati Lubis.

Hakim terlihat terkejut saat mendengar kesaksian tersebut, terutama karena dua saksi sebelumnya juga tidak menyebutkan adanya peristiwa yang dituduhkan oleh pelapor, yang merupakan istri terdakwa.

Kuasa hukum terdakwa, Jhon Asron Purba, menegaskan bahwa kesaksian para saksi membuktikan bahwa dakwaan jaksa tidak terpenuhi. “Berdasarkan keterangan para saksi, dakwaan tidak sesuai dengan kenyataan,” katanya.

Saksi-saksi juga menunjukkan kesesuaian dengan kesaksian petugas keamanan dan polisi yang berada di lokasi kejadian, yang melihat langsung insiden perebutan anak tersebut.

Pihak perlindungan perempuan dan anak pun menyatakan tidak mengetahui adanya kekerasan dan hanya bertemu dengan korban setelah kejadian.

Asron Purba menambahkan bahwa bukti valid berupa video yang diunggah oleh korban di media sosial, yang menjadikan kasus ini viral, juga tidak menunjukkan adanya peristiwa kekerasan.

Namun usai persidangan, Majelis Hakim pun masih menolak permohonan kuasa hukum yang meminta penangguhan terhadap terdakwa dan memutuskan untuk melanjutkan sidang pada Selasa, (8/10/2024) dengan rencana menghadirkan saksi korban, yang sebelumnya telah mangkir dua kali dari persidangan.

Peristiwa ini berlangsung di ruang publik di Hotel Harris Batam Center dan berawal dari laporan KDRT yang dibuat oleh istri terdakwa, Daniel Marshall Purba. Kasus ini terus menjadi sorotan publik, menyusul banyaknya perhatian media terhadap situasi yang melibatkan perebutan anak. (DN).

Continue Reading
Kolom Iklan

Berita Lain